Ciuman Menjadi Salah Satu Tradisi Di Bali
Omed-omedan atau yang disebut juga
med-medmedam adalah acara ciuman masal yang rutin di gelar oleh warga Banjar
kaja, Desa Sesetan. Denpasar
Selatan, pada setiap tanggal 1 tahum cakka, atau sehari setelah Hari Nyepi.
Menurut cerita masyarakat setempat, acara ini sudah di wariskan sejak tahun
1900-an. Omed-omedan melibatkan seka teruna-teruni atau pemuda-pemudi umur 17
tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Dalam
bahasa Bali, med-medan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik-menari.
Jadi, med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok pemuda
dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa.
Prosesi med-medan dimulai dengan persembahyangan
bersama untuk memohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi menjadi dua
kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok tersebut mengambil
posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh
desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Begitu bertemu, peserta terdepan saling
tarik-menarik lalu berciuman dan disaksikan oleh ribuan penonton. Prosesi
tersebut dilakukan secara bergantian sehingga semua peserta kebagian berciuman.
Tidak semua masyarakat Bali, bahkan
masyarakat Sesetan Kaja sendiri menyukai tradisi ini. Pernah, pada tahun
1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namum, tak
lama berselang, di pelataran Pura terjadi perkelahian yang amat seru antara dua
ekor babi, dan keduanya menghilang begitu saja di tengah perkelahian. Oleh
warga, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, med-medan pun
kembali dilangsungkan.
Jauh sebelum itu, ada kisah menarik
mengenai med-medan ini. Saat itu, begitu Hari Nyepi usai, masyarakat Puri Oka,
sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar permainan med-medan alias
saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dengan pemudi yang amat seru.
Saking serunya, acara tarik-menarik itu
berubah menjadi acara saling merangkul dan situasi berubah menjadi
gaduh. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar. Dengan terhuyung-huyung
beliau keluar hendak menghardik
warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak
sirna dan beliau pun sehat seperti sediakala. Raja itu lalu mengeluarkan titah
agar med-medan itu dilaksanakan tiap tahun saat ngembak geni (menyalakan api
pertama) setelah Hari Nyepi.
Begitu diselenggarakan lgi, giliran
pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang
ritual itu. Namun, warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara
ciuman masal itu pun berlangsung hingga sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar